![Ilustrasi Harry Wibowo. tirto.id/Sabit](https://mmc.tirto.id/image/otf/700x0/2019/05/21/harry-wibowo-wawancara--ilustrasi--sabit_ratio-16x9.jpg)
info teknologi - Sawit Tingkatkan Taraf Hidup Masyarakat ON THE SPOT
tahun lantas mahasiswa ITB pulang turun ke jalan. Masih pada dasawarsa yang sama, perampasan tanah terjadi di tidak sedikit tempat, yang sangat terkenal ialah penggusuran besar-besaran demi pembangunan waduk Kedungombo. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut, meletus gerakan people power di Filipina yang mendapat ekspos besar oleh media-media nasional dan besok memperkuat sentimen anti-Soeharto. Jurnalis Tirto Husein Abdulsalam dan redaktur Windu Jusuf, mewawancarai Harry Wibowo. Redakturpenyelenggara Jurnal dan Portal Prisma yang akrab dipanggil Har Wib ini ialah mantan aktivis mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Ia menonton turut mengorganisir protes-protes anti-Orde Baru pada 1980-an yang sedikit tidak sedikit dipengaruhi oleh gerakan people power di Filipina. Berikut petikannya. Istilah people power yang ramai belakangan ini tidak baru di Indonesia. Setelah gerakan massa di Filipina 1986 guna menumbangkan Ferdinand Marcos, istilah people power juga digunakan di Indonesia untuk merundingkan peristiwa Tiananmen di Cina atau color revolutions di tidak sedikit tempat. Bagaimana wacana itu dapat sampai ke Indonesia dan apa respons semua aktivis masa-masa itu? Di kampus-kampus Indonesia masa-masa itu, gerakan mahasiswa paling landai sebab direpresi (setelah NKK/BKK). Ada ancaman pemecatan, misalnya. Dewan mahasiswa waktu tersebut sudah dibekukan dan rektor-rektor yang pro-mahasiswa diganti oleh Mendikbud Daoed Joesoef. Untuk terbit dari represi, mahasiswa enggak lagi buat protes, walaupun tetap terdapat aksi-aksi yang terus berjalan, yakni pembelaan sidang-sidang mahasiswa laksana Rizal Ramli, Hery Akhmadi. Saya masuk ITB tahun 1979. Sampai 1981, masih terdapat sidang-sidang tingkat kasasi, bila tidak salah. Dari ITB sendiri, terdapat tujuh atau delapan mahasiswa yang diadili sesudah pendudukan Kampus ITB oleh ABRI 1978, di antaranya Sukmadji Indro Tjahjono, Ramles Manampang Silalahi, M. Iqbal, dll. Mulai 1981-an, outlet dari gerakan mahasiswa ialah kelompok studi. Saya sendiri buat kelompok-kelompok studi, tidak melulu di ITB tetapi pun di tempat-tempat lain. Beberapa orang yang dulu bergabung dalam kelompok-kelompok studi semacam itu ialah Rocky Gerung, Vedi R. Hadiz dari UI, atau Bonar Tigor Naipospos dari UGM, tergolong Fadjroel Rachman dkk di ITB. Baca juga: Tumbangnya Ferdinand Marcos, Soeharto dari Filipina Tahun 1985, Kompasmengupayakan memberi ruang mahasiswa guna ngomong. Mereka mengundang mahasiswa dalamsebuah pertemuan besar membicarakan arah gerakan mahasiswa. Saat tersebut masihterdapat mitos gerakan mahasiswa 1965-1966 yang menumbangkan Soekarno, lantas gerakan Malari 1974, lantas 1977-1978 yang gagal sebab Soeharto tetap jadi presiden. Ada mitos itu. Pelajaran yang dapat ditarik (dari Filipina 1986) ialah semangatnya. Pertama,motivasi bahwa satu diktator kaya Marcos dapat ditumbangkan. Kedua, ternyata dapat kok memobilisasi kekuatan di luar (kampus). People power masa-masa itu dirangsang penembakan suami Cory Aquino, Benigno Aquino. Pertanyaannya, mengapa mereka teroganisisir, dapat jadi people power dan turun ke jalan? Entah kenapa, semenjak 1986 terjalin kontak-kontak antara mahasiswa Indonesia dan Filipina. Ada Asia Student Association (ASA) yang kiri progresif. Dari situ kami dapat membangun kontak-kontak internasional. Tidak terbatas pada organisasi kemahasiswaan, tapi pun organisasi atau front laksana buruh. Saya sendiri sempat ke konferensi ASA di Hong Kong, 1986. Isinya memang orang-orang kiri. Dari situ saya bisa kontak organisasi-organisasi mahasiswa kiri di Filipina. Mereka ini bahkan punya kontak organisasi-organisasi semacam National Democratic Front (NDF) di Filipina hingga ke Jose Maria Sison (pendiri Partai Komunis Filipina). Saya pun ingat terdapat satu organisasi besar buruh kiri di Filipina, namanya Kilusang Mayo Uno. Mulai dari ASA, kami pelajari pun apa sih yang merekakerjakan saat mengorganisir diri dan bergabung dalam aliansi strategis sampai-sampai punya andil dalam menjatuhkan Marcos. Kelompok studi waktu tersebut sudah mulai berwacana mengenai kiri lewat membahas kitab Arif Budiman (Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende). Kami pun baca pemikir Frankfurt School yang dibicarakan Sindhunata, atau diktat Marxisme yang ditulis Franz Magnis-Suseno. Intinya, kami mulai menggali literatur kiri. Kejatuhan Marcos pun membuka kami dapat berelasi dengan sahabat yang kiri-kiri di Filipina. Beberapa tahun kemudian, pada 1986 akhir, permasalahan Kedungombo meledak. Gerakan protes mahasiswa yang tadinya paling campus-oriented sekarang turun ke lapangan. Turun langsung karena dirangsang pembangunan waduk Kedungombo. Mahasiswa pun turun ke kasus-kasus tanah yang lain, misalnya, Badega di Garut, Jawa Barat. Terus permasalahan proyek perkebunan sawit di Cimerak Baca juga: Tumbangnya Ferdinand Marcos, Soeharto dari Filipina Setelah kumpulan studi, gerakan mahasiswa turun ke lapangan. Kita belajar dari empiris organisasi kiri di Filipina atas dasar motivasi jatuhnya Marcos. Saya sendiri tergolong yang sangatmeneliti perubahan di Filipina: bagaimana konstelasi politik di Filipina? Siapa sih yang naik sesudah Cory Aquino? Setelah Cory, terdapat satu figur NDF yang dapat jadi semacam 'perdana menteri'. Dia tak lama menjabat. Tapi saya membayangkan tersebut seperti Komune Paris. Enggak persis, sih. Komune Paris, kan, benar-benar membuat kekuatan politik dari bawah. Begitu proses demokratiknya terjadi. Kaum kiri di Filipina,tergolong Sison, dapat menaruh orang-orangnya di sekitar Cory sehingga dapat masuk ke kabinetnya Cory. Yang seperti tersebut kami pelajari. Malah sejumlah kawan pergi Filipina. Mereka diundang ke sana. Ada dua hingga tiga orang. Teman baik saya terdapat yang belajar dan menelaah seluk beluk gerakan sosial di Filipina dan bagaimana cara analisis sosial yang kritis menjadi bagian urgen gerakan perlawanan. Dia menikah dengan orang Filipina yang lantas menjadi WNI. Intinya, tersebut semua membuka ruang lebih banyak untuk mahasiswa berjejaring. Kemudian merasakan radikalisasi. Dalam artian tidak saja baca buku. Itu yang unik dari people power. Sejak mula kami telah tahu people power bahwa Aquino unsur dari oligarki, elite lama. Tapi yang menarik ialah bahwa kokdapat NDF yang kiri lantas memasukkan ke orang-orangnya ke kabinet Aquino? Ya, meskipun tidak lama, paling melulu setahun sebelum disingkirkan oleh kaum reaksioner kanan. Tidakseluruh menyerukan people power, kan, ketika itu? Tidak, sebab memang paling direpresi. Kelompok studi mulai bangkit lagi sebab memang ada tidak sedikit problem konkret di bawah kediktatoran Soeharto. Bukan melulu karena Filipina bergerak. Semangat dari sana kami pakai guna belajar. Jadi anda belajar. Saya rasa pada periode 1980-anhingga akhir, dapat sampai 5-7 orang yang ke sana. Mungkin ini sebab pandangan post-factum, dapat bias saya. Informasi, kan, paling terbatas. Saya individu langganan koran Kompas di kos saya. Saya kliping berita soal Filipina. Kami pun mendiskusikan pun soal Filipina di kampus, di kelompok-kelompok studi itu. Bagaimana media-media di Indonesia mengabarkan soal Filipina 1986? Positif, sih. Seperti menyerahkan suatu insight atau wawasan: seorang diktator yang tidak cukup lebih sama dengan (Soeharto)dapat dihancurkan. Walapun kami pun tahu bahwa tersebut ada pemicunya, kematian Benigno. Berita soal NDF tersebut bahkan saya bisa dari Kompas. Nah, di Filipinatersebut kan terdapat dua front: front legal dan front “bawah”. New People’s Army (NPA) yang front bawah tanah. NDF yang front legal. Nah, pola ini mulai kami pelajari dari Filipina. Pemberitaan tentang NPA dan NDF tersebut ada, walaupun melulu beberapa. Adapun berita Moro National Liberation Front (MNLF). Rezim Orde Baru waktu tersebut memandang perkabaran peristiwa internasional bukan sebuah yang berbahaya, jadi enggakbakal kena sensor. Tapi bila berita soal Soeharto, sangat tidak ya kena swa-sensor. Yang lain, bila teman-teman kembali dari Filipina, mereka bawa tulisan-tulisannya Sison. Satu urusan yang telah saya tahu, barangkali ini agak pribadi, Sisonmenuliskan dia belajar dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Figur laksana Sison, baik secara politik maupun diplomatik, lumayan dikenal. Baca juga: Sesumbar Fasis Duterteguna Jegal Gerilyawan Komunis Filipina Perkembangan politik seperti tersebut kami pantau terus dengan motivasi untuk belajar. Cukup buat kami semangat. Efeknya hanya itu. Saya heran klaim 1998 sebagai people power. Saya bilang agak beda. Mungkin ini bias saya. Tapi, maksud saya bahwa latihan yang dapat ditarik dari Filipina ialah kelompok kiri di Filipina ternyata terdapat dua front yang dapat masuk. Yang NDF dapat masuk ke jajaran kabinet Aquino. NPA, front yang beda di bawah tanah, tetap melancarkan perjuangan bersenjata. Strategi dua front tersebut yang tidak ada ketika Reformasi 1998. Mungkin sebab Partai Rakyat Demokratik (PRD) telah terlanjur dipukul sepanjang akhir 1997 hingga mula 1998, dan gerakan kiri secara umum telah ditumpas pada tahun 1965-66. Tapi bila soal mempelajari gerakan kiri, tidak melulu itu. Di satu sisi,sejumlah tahun sebelumnya kami telah dapat disertasi Arif Budiman soal Chili, yang intinya mengenai bagaimana Allende yang sosialis dapat menang lewat pemilu demokratis. Dia jadi Presiden, lantas dikudeta Pinochet. Yang diajarkan disertasi Arif merupakan state strategy dan mobilisasi massa. Allende memakai kedua urusan tersebut sehingga memenangkan kekuatan massa. Nah, kalau dikomparasikan 1998, situasinya agak lain. Akumenyaksikan pada 1998 tidak terdapat perlawanan bersenjata. PRD coba buat itu, namun berujung ceroboh. Berdasarkan keterangan dari Anda, pemakaian istilah people powertersebut sendiri kini bagaimana? Itu hanya slogan gertak sambal saja. Situasi kini tidak laksana Indonesia pada 1998, Filipina pada 1986, atau gerakan Solidarność di Polandia (1980-an). Kalau mau dikomparasikan dengan sekarang, apakah rezim Jokowi ini otoriter? Pertanyaannya begitu, apakah Jokowi sama dengan Marcos? Sekarang ini, kan,sebetulnya pertarungan dua kumpulan elite. Kalau gunakan istilah people power, yaakan diketawain, baik oleh penyokong Jokowi maupun semua golput laksana saya ini. Penyebutan people power dalam konteks hari ini tidak masuk akal untuk saya. Tidak adasituasi objektif yang dapat membuat mereka menggerakkan massa. Tanggal 22 Mei nanti, paling-paling yang terdapat kekerasan terhadap massa. Sebagai aktivis pro-demokrasi 1980-an, Anda menyaksikan pemerintahan Jokowi otoriter? Tidak. Pertama, dia dipilih secara demokratis. Walau demikian, bila kita lihat dalam periode yang lebih panjang,terdapat tendensi serius: negara semakin berwatak illiberal, semakin tidak memuliakan hak asasi insan dan kemerdekaan dasar. Walau demikian, bila kita lihat dalam periode yang lebih panjang, tendensi iliberal democracy itu tidak melulu terjadi di level negara, tapi pun di masyarakat sipil dengan kebangkitan kumpulan konservatif, bigot agama. Di beda sisi hingga sebelum Pemilu 2019, kita dapat lihat bahwa permasalahan penggusuran naik signifikan, dan kriminalisasi terhadap mereka yang memperjuangkan hak-haknya atas lahan dan sumberdaya alam. Represi terus meningkat. Tetapi, anda tidakdapat bilang bahwa rezim ini otoriter. Secara borongan memang negara semakin tidak demokratis. Tidak melulu rezimnya saja yang butuh dicurigai otoriter, namun tendensi negara secara menyeluruh, tergolong parlemen yang menghasilkan UU yang tidak memuliakan kebebasan berasumsi atau berekspresi laksana UU ITE, atau sejumlah keputusan pengadilan yang memperkuat represi dalam format kriminalisasi tersebut. Baca juga: Seruan People Power Amien Rais dan Kegagalan People Power Proses illiberal democracytersebut tidak dapat dibebankan melulu kepada rezim Jokowi. Itu proses struktural yangterdapat sebelumnya, tergolong pada masa pemerintahan SBY yang tidak mempedulikan bahkan mengundang Ma’ruf Amin (Ketua MUI, kini cawapres Jokowi) guna masuk ke pemerintahan. SBY menanam fatwa MUI sebagai panduan kepandaian negara guna urusan agama. Dia tampak pasrah. Kenapa sertifikasi halal dan segala macamnya tersebut merajalela, ya karena diserahkan ruang oleh SBY. Kembali ke kupasan people power. Kalauinginkan menunggangi jargon people power, mereka tidak punya kekuatan apa-apa. Kekuatantersebut tetap anda hitung dari kekuatan riil. Kekuatan Prabowo kini rontok satu per satu. Generasi muda sekarang barangkali tidak punya referensi soal people power. Rujukan terdekat ialah 1998, bukan Filipina. Tapi yang barangkali generasi kini tahumerupakan sikap pemerintah terhadap seruan people power. Menko Polhukam Wiranto sampaimenyusun tim guna itu. Dalam urusan ini, apakah sikap pemerintah dapat dibandingkan dengan rezim Orde Baru? Tetap berbeda. Suharto sejak mula menggunakan cara-cara berdarahguna menegakkan dominasi dan menjadi otoriter. Meskipun pada masa mula pemerintahannya dia berjuang untuk lebih demokratis guna mengafirmasi tidak sedikit kepentingan. Padasebuah titik saat oil boom berakhir, dia bukan lagi punya sumber daya melimpah,sampai-sampai terbatas untuk mengerjakan kontrol terhadap kekuasaannya. Sedangkan Jokowi—bahkan SBY dan sebelumnya—naik ke dominasi melalui sistem pemilu. Sistem ini, meskipun ini selemah-lemahnya demokrasi elektoral, tetap bakal membatasi bisa jadi people power. Nah, sebuah mobilisasi kekuatan populer melulu mungkin terjadi guna melawan sebuah rezim yang otoriter atau totaliter. Bagaimana pandangan kita soal penangkapan-penangkapan penyeru people power? Penangkapan tersebut mesti disaksikan dalam kerangka illiberal democracy. Rezimnya dipilih secara demokratis, namun dia mestimemakai perangkat represif guna membungkam oposisi, menyelamatkan kekuasaannya. Dia merasa tidak lumayan aman guna menang di Pilpres 2019. Di situ dia membuka semacamkesempatan buat oposisi atau bahkan guna mereka yang golput guna memprotes atau mengkritik titik lemah cara-cara dia memakai pasal-pasal makar yang tidak memuliakan hak asasi manusia. Hal semacam tersebut pelan-pelan itu dapat mendelegitimasi pemerintahan Jokowi bila terus-terusan buat tim. Mungkin enggak sekarang, tapitersebut semakin membetulkan tesis bahwa illiberal democracy terjadi di Indonesia. Baca juga: "Pesta Demokrasi": Istilah Pemilu Ciptaan daripada Soeharto Kalau oposisi dan yang golput pintar buat strategi, ini akan meningkatkan amunisi guna mendelegitimasi pemerintahan Jokowi. May Day kemarin, dia mengundang serikat-serikat buruh sebab dia tahu May Day dapat digunakan oposisi. Ya, yang dia pikirkan ialah oposisi, sementara golput dan lainnya tidak diperhitungkan. Dia undang mereka ke Istana, kasih janji bahwa PP 78 inginkan diubah. Terus, aksi massa May Day direpresi. Di Bandung, massa direpresi. Di Jakarta, massa diblokade. Serikat yang turun secara riil melulu aliansi GEBRAK dan KOMITMEN. Massa yang mengenang May Day lebih tidak banyak dibanding tahun lalu. Di satu sisi tersebut menunjukkan bahwa rezim Jokowi coba merayu serikat buruh dengan janji-janji, namun di sisi beda merepresinya. Tapi yang jelas, tidak ada situasi objektifuntuk oposisi kini untuk dapat memobilisasi massa. Tidak terdapat keresahan, kecuali mereka terus menerus menggoreng isu agama. Apakah Aksi Bela Islam 212 dan segala reuninyadapat disebut people power? Agak beda. Saya punya acuan people power itu ialah upaya menumbangkan rezim otoriter, laksana Arab Spring lah yang sangat dekat. Otoritarianismetersebut menjadi titik pijak yang mendefinisikan people power. Saya bukan penyokong Jokowi. Saya golput. Tapi saya memandang dia belum menjadi otoriter. Tendensi illiberal democracy bukan tanggung jawab Jokowi. Itu problem struktural yang sedang di level negara dengan pertumbuhan yang panjang semenjak zaman SBY. Itu tidak dapat dihindarisebab model pembangunan yang neoliberal laksana seperti penyerobotan lahan, penggusuran penduduk tanpa kompensasi pantas dan kelanjutan penghancuran sumberdaya alam. Ada situasi objektif struktural yang menciptakan illiberal democracy langgeng di satu sisi. Di sisi lain, rezim ini tetap masih punya “otonomi” guna tidak terjebak pada otoritarianisme. Jika dia semakin ditekan oposisi dan gerakan sosial, rezim bakal semakin mengekor tendensi illiberal democracy ini. Ini belum kena saja, sebab di luar (kubu paslon) 02 belum melancarkan kritik-kritik keras dan lumayan signifikan guna menggalang massa. Dan sepertinya tersebut tidak bakal terjadi dalam masa-masa dekat ini. Kawan-kawan di gerakan sosial pun enggak inginkan ditunggangi Prabowo. Baca juga: Akankah Jokowi Keok bila Muslim Konservatif Dimobilisasi Prabowo? Pada 1998, kepentingan-kepentingan yang sifatnya spesifik dari masing-masing kumpulan untuksedangkan ditunda demi menjatuhkan rezim Suharto. Kondisi seperti tersebut tidakterdapat sekarang. Kepentingan spesifik 02 dan 00 (merujuk pada mereka yang tidak menggolongkan diri penyokong Jokowi atau Prabowo) tidak bakal pernah bertemu. Karena 00 mengkritik sistem dan lebih mempermasalahkan apa yang terjadi di tingkat negara, bukan sekadar membangkang Jokowi. Tidak barangkali kubu Prabaowo dan golput (00) membina kepentingan bareng untuk menjatuhkan Jokowi. Satu indikator gerakan populer—tidak mestipopulis—yang menumbangkan kekuasaan ialah satu kepentingan bareng yang dapat dibangun dengan menangguhkan kepentingan-kepentingan spesifik di faksi-faksi yang saling bertentangan. Kondisi tersebut sekarang tidak terjadi. People power tersebut sekarang slogan kosong saja, tidak terdapat isinya. Bayangkan saja apa yang terjadi di Filipina 1986. Benigno Aquino yang jelas-jelas berasal dari family tuan tanah dan aristrokasi bisa berkolaborasi dengan kumpulan kiri, walau mempunyai sifat sementara. Bagaimana wacana people power diciduk gerakan Islam di Indonesia pada 1980-an? Pada masa-masa itu, hubungan kami baik-baik saja. Ada pun kok beberapa aktivis yang bergiat di Salman (masjid kampus ITB) pada periode itu. Artinya, enggak terdapat ketegangan, lagipula yang sifatnya ideologis. Tapi pada tahun 80-an tersebut gerakan politik beridentitas Islam belum menguat laksana sekarang. Kasus Peristiwa Tanjung Priok 1984 tersebut terjadi, kan, sebagai reaksi terhadap penerapan azas tungal Pancasila sebab Soeharto berupaya mengontrol Islam secara lebih keras. Sebelumnya, dia berhasil mengontrol komunis, merepresi komunis. Setelah tersebut [Tanjung Priok], hadir teror. Ada teror Warman, pun peledakan Borobudur. Jadi, ekstremisme tersebut mulai ada. Setelah Tanjung Priok, Petisi 50 menerbitkan pernyataan yang mengecam penanganan demonstrasi Amir Biki dkk sehingga menyebabkan puluhan orang tewas dan luka-luka. Salah satu yang buat petisi itu ialah H.R. Darsono yang mantan Pangdam Siliwangi. Dia telah jadi oposisi. Kenapa yang sangat dipukul tersebut ITB di Bandung tersebut karena sesudah Malari 1974terdapat semacam restu dari jenderal-jenderal Siliwangi (untuk mahasiswa ITB). Yang masuk menempati kampus ITB tersebut bukan dari Siliwangi, namun dari luar. Karena Siliwangi sudah tentu enggak mau menyokong pendudukan kampus. H.R. Darsono—dan aktivis Petisi 50 lainnya—kemudian diadili. Saya ikut merangkai pledoinya Darsono, sebab keterlibatan saya sebelumnya dalam Komite Pembela Mahasiswa ITB yang mengurusi peradilan mahasiswa di mula 80an. Nah, tersebut situasi 1980-an. Benar-benar terdapat konflik elite salah satu elite Orde Baru. Orang semacam Ali Sadikin, H.R. Darsono, kemudian A.H. Nasution—yang punya legitimasi kuat—mengambil posisi oposisi. Tapi, situasi objektif saat tersebut bukan guna menggalang massa besar-besaran menurut sentimen keagamaan. Gerakan mahasiswa maupun oposisi yang dimotori semua intelektual dan eliti Orde Baru tidak memakai bahasa agama guna memobilisasi massa. Bahasanya ialah “Soeharto korup”, “Soeharto otoriter”, “keluarga Cendana bejat”, “menguasai ekonomi", "tidak peduli rakyat kecil”. Suara oposisi ketika itu ialah atas nama rakyat, bukan agama. Protes waktu tersebut dituduh subversif, enggak gunakan makar. Pertama, subversif. Kedua, penghinaan terhadap presiden. Walaupun Darsono tersebut benar-benar dipenjara karena bareng Petisi 50 dia mengecam pembantaian Tanjung Priok, namun sentimen agama tidak muncul. Dia disasar oleh Suharto sebab dia jenderal Siliwangi yang konsisten melawan Soeharto. Pada 1981, masa-masa kita mengenang 'Agresi Militer Kedua' di ITB—kami gunakan istilah tersebut untuk menyinggung peristiwa pendudukan kampus ITB oleh tentara pada 1978—yang diundang bicara A.H. Nasution hingga Adnan Buyung. Sejak Malari 1974, gerakan moral mahasiswa memang bersekutu dengan jenderal-jenderal oposisi Suharto. Di ITB Ali Sadikin ngomong di lapangan basket kampus ITB, massa yang datang itudapat sampai seribu lima ratus. Tapi situasi objektifnya saat tersebut tidak memungkinkan bangkitnya people power. Baru 1998 sesudah krisis moneter, people powersukses melengserkan Suharto sesudah didahului gelombang aksi mahasiswa, penculikan aktivis, penembakan mahasiwa Trisakti dan provokasi kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998.
Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul ""People Power Sekarang Slogan Kosong Saja, Tidak Ada Isinya"", https://tirto.id/people-power-sekarang-slogan-kosong-saja-tidak-ada-isinya-dRvd
0 Komentar